Siapa yang tidak kenal Jalaluddin Rumi, seorang tokoh sufi dan penyair terkenal di masanya hingga sekarang, nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husin Al Khatihbi Al Bakri. Kata Rumi di belakang adalah julukan baginya yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konya yang dulu dikenal dengan sebutan Rum.
Rumi lahir di Balkh (sekarang masuk wilayah Afghanistan) pada 30 September 1207. Ia lahir dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayahnya bernama Baharuddin Walad. Seorang da’I terkenal, fakih, dan juga seorang sufi yang masih memiliki keturunan dengan Abu Bakar.
Latar belakang ayahnya itu membuat Rumi sangat dekat dengan ilmu agama dan tradisi tasawuf.
Kisah pertemuan Jalaludin Rumi dengan Syamz Tabrizi.
Pada saat Rumi gelisah, ia berkunjung ke Konya, dan datang seorang darwisy —orang suci pengembara dari Tabriz— namanya Syamsuddin. Umurnya dua puluh tahun lebih tua dari Rumi. Pertemuan itu terjadi pada tanggal 26 Jumadil Akhir tahun 624 H atau 28 November 1244 M.
Syams Tabriz adalah seorang darwisy yang aneh dan memesona. Wajahnya tampan, kharismanya luar biasa, pikiran-pikirannya kritis, radikal, dan brilian. Khutbah-khutbahnya memikat dan dalam isinya. Ia adalah seorang sufi yang tak punya hubungan secuil pun dengan gerakan sufi konvensional. Segera Syams memikat Rumi. Rumi seakan-akan menemukan sesuatu, yang telah lama ia cari, dalam diri Syamsuddin. Demikian pula Syamsuddin menjumpai sesuatu, yang telah lama ia cari, pada diri Jalaluddin Rumi.
Apa yang telah lama dicari dan didamba Rumi itu? Nicholson mengatakan, “Pada pribadi Syamsuddin, Rumi menjumpai suatu penjelmaan atau gambaran dari kekasih Tuhan atau manusia paripurna (insan kamil) yang sejati.” Syamsuddin miskin, namun gairah hidupnya luar-biasa. Pengalamannya luas dan kaya. Ia bisa dibandingkan dengan Socrates —guru Plato— dalam hal kemiskinan, namun memiliki kekayaan ruhani dan pikiran yang luar-biasa. Socrates bagi Plato adalah sama dengan Syamsuddin bagi Rumi. Keduanya adalah pembimbing jalan bagi dua orang besar itu.
Socrates dan Syamsuddin tak pernah menulis buku, namun khutbah-khutbahnya menggemparkan. Mereka hidup dalam zaman yang berlainan, namun kedua zaman itu memiliki ciri yang hampir sama, seperti kemelut politik, pelacuran intelektual, dan keruntuhan ruhani yang fatal. Keduanya ahli retorika, dan pada akhir hayatnya mengalami nasib serupa: meninggal secara tragis. Yang satu dihukum minum racun, yang lain dibunuh. Dan keduanya melahirkan dua murid yang melahirkan karya-karya besar.
Setelah bertemu dengan Syamsuddin, Rumi benar-benar tak bisa melepaskan diri, mengikuti jalan keruhanian yang ditempuh darwisy dari Tabriz itu. Rumi mengajak Syamsuddin tinggal di rumahnya. Sejak saat itu, mereka bersahabat dan bersama-sama menyelami masalah-masalah ketuhanan dan kemanusiaan.
Akibat pertemuannya dengan Syamsuddin, Rumi kehabisan perhatian pada sekolah yang diasuhnya lagi. Semua ini menimbulkan bibit kebencian kepada Syamsuddin. Suatu ketika, Syamsuddin diusir oleh mereka ke Damaskus. Rumi diminta kembali mengurus sekolah dan murid-muridnya seperti biasa. Namun Rumi tetap ogah, sebab perpisahan dengan Syamsuddin sangat memukul batinnya.
Atas permintaan Rumi, murid-muridnya setuju mendatangkan kembali Syamsuddin. Tapi tak lama setelah tiba di Konya, Syamsuddin mendapat tantangan yang lebih berat lagi. Ia tak hanya dimusuhi karena mengakibatkan telantarnya sekolah Rumi. Khutbah-khutbahnya yang tajam dan kritis dinyatakan mengancam kedudukan ulama lain. Syamsuddin akhirnya menghilang. Menurut salah satu versi, dia tewas dibunuh secara rahasia.
Peristiwa ini memukul batin Rumi. Namun ia tetap bertekad meneruskan pencariannya akan sang guru. Kerinduannya pada Syams Tabriz menjadi-jadi. Ia pergi ke Damaskus, karena di Konya hidupnya terasa sia-sia. Ia hidup beberapa tahun dalam pengasingan dan pengembaraan.
Waktu berlalu, akhirnya Rumi kembali lagi ke Konya, ia mendirikan tarekat Maulawiyah, yang terkenal dengan tari yang berputar-putar seperti gasing. Dalam keadaan ekstase ia membacakan puisi-puisi yang diciptakannya, lalu ditulis oleh salah seorang muridnya. Kerinduannya pada Syamsuddin dan Tuhan ia curahkan sepenuh-penuhnya dalam puisi. Meskipun ia tak pernah ingin jadi penyair, ternyata puisi membebaskan batinnya dari konflik-konflik yang ia alami selama dalam pengasingan dan pengembaraan.
Mengenai bagaimana Rumi menemukan tari berputar-putar seperti gasing, yang terus hidup sampai sekarang, ada kisah tersendiri. Salah seorang murid dan sahabat Rumi adalah seorang pandai-emas, bernama Salahuddin Zer-Kub. Ialah pengganti Syamsuddin, setelah meninggal tahun 1247. Suatu ketika Rumi sedang mengunjungi tempat Salahuddin, yang sedang bekerja menempa emas. Dari tiap bunyi tempaan pukulan besi Salahuddin di atas lempengan emas itulah Rumi seperti mendengar suara Allah, Allah, Allah. Bunyi itu seakan-akan suatu irama yang keras, yang secara spontan mengajaknya berputar-putar menari seperti gasing itu. Peristiwa inilah yang melahirkan tarekat Maulawi, para darwisy berputar menari diiringi musik hingga mencapai ekstase.
Persahabatan dengan Salahuddin juga memberi keuntungan lain. Kalau Rumi sedang mengucapkan puisi-puisinya, jelas ia tak bisa menuliskannya. Yang menuliskan adalah darwisy si pandai-emas itu, yang selain punya daya ingat dan telinga yang tajam, juga punya ketangkasan memindahkan apa yang diucapkan Rumi ke atas kertas. Maka lahirlah Matsnawi.
Tinggalkan Komentar